Thursday, April 20, 2006

Bisnis pengeboran migas mengarah tak sehat

JAKARTA, Bisnis Indonesia: APMI menilai persaingan usaha pengeboran (drilling) minyak dan gas mengarah tidak sehat, sehingga mengancam target produksi minyak nasional 1,3 juta barel per hari pada 2009.

Menurut hasil pemantauan Asosiasi Pemboran Minyak dan Gas Bumi (APMI), indikasi mulai tidak sehatnya persaingan jasa tersebut antara lain terjadi ketidakwajaran dalam perhitungan harga kontrak (rate) atas peralatan pengeboran migas (rig).

"Hal ini dimungkinkan karena pengusaha [rig] tidak konsisten dalam menentukan rate. Mereka hanya mengejar bagaimana caranya mendapatkan proyek," ujar Direktur Eksekutif APMI Eddyono Salatun, kemarin.

Di sisi lain, menurut dia, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)-selaku pemilik/pengelola proyek migas-cenderung memilih perusahaan penawar terendah dalam tender pemboran.

"Akibatnya [untuk mendapatkan proyek] terjadi saling banting harga antarsesama pengusaha pengeboran. Situasi ini tanpa disadari merusak iklim bisnis migas," tandasnya.

Sementara itu, Bambang Kartika, Head of Procurement and Management Assets Division BP Migas mengemukakan industri migas di Indonesia kini tengah menghadapi masalah sulitnya memperoleh rig karena tingginya permintaan sarana tersebut.

Akibatnya, harga sewa rig semakin melambung, terutama rig yang berada di perairan laut dalam. Saat ini saja, harga sewa rig mencapai US$200.000.

"Bahkan saat kurs rupiah di angka Rp 10.000, harga sewa rig sampai Rp2 miliar per hari," kata Bambang di Balikpapan, belum lama ini.

Harga sewa tersebut, kata Bambang, mengalami lonjakan yang cukup drastis dibandingkan satu atau dua tahun sebelumnya yang berkisar US$60.000-US$80.000 per hari.

Faktor regulasi

Di samping masalah yang timbul dari internal pengusaha, Sekjen APMI Tito Kurniadi menyebutkan kurang kondusifnya iklim bisnis jasa pemboran migas saat ini juga disebabkan oleh faktor regulasi dan pelaksanaan birokrasi di lapangan.

Banyak peraturan yang dikeluarkan Ditjen Imigrasi, Bea Cukai, Badan Koordinasi Penanaman Modal dan pemda, katanya, tidak mendukung usaha pengeboran migas, sehingga layak direvisi.

Dia menyebutkan salah satunya peraturan yang tidak relevan itu adalah ketentuan BKPM yang menyebutkan perusahaan asing dilarang memasukkan rig berukuran di bawah 2.000 tenaga kuda.

"Dalam praktiknya sekarang ini banyak perusahaan dari China yang memasukkan rig di bawah ukuran tersebut. Bahkan kami dengar jumlahnya mencapai 63 unit. Kenapa tidak dikenakan sanksi?"

Pelanggaran peraturan semacam itu, menurut Tito, berdampak pada melemahnya daya saing perusahaan nasional dan rusaknya iklim usaha pemboran migas di Indonesia.

Buat KKKS dan perusahaan rig asing, situasi tadi mungkin tidak menjadi persoalan karena target dari kehadiran mereka di Indonesia adalah mengejar keuntungan. (k30)

Oleh Ismail Fahmi
Bisnis Indonesia