Saturday, November 25, 2006

Apexindo bukan big boy

JAKARTA, Bisnis Indonesia: PT Apexindo Pratama Duta Tbk sempat akan dijual oleh induknya PT Medco Energi Internasional Tbk. Perusahaan minyak dari India Aban Loyd Chiles Offshore Ltd bahkan sudah menawar 52% saham Apexindo di Medco senilai US$550 juta atau Rp3.666 per saham. Namun, dengan alasan harga yang tidak cocok, divestasi itu batal.

Seberapa prospektif bisnis Apexindo sehingga kini menjadi 'emas' bagi bisnis keluarga Panigoro itu, berikut petikan perbincangan Bisnis dengan Direktur Keuangan Apexindo Agustinus B. Lomboan:

Bagaimana prospek jasa pengeboran di tengah kecenderungan dunia yang mulai mengalihkan penggunaan bahan bakar fosil ke biofuel?

Kalau melihat nilai ekonomis dan investasinya, dampak dari peralihan itu bersifat jangka panjang. Bila dilihat dari proyeksi International Energy Agency [IEA], meski permintaan gas dan batu bara meningkat, permintaan minyak masih mencapai 2% setahun karena minyak diperlukan bukan saja untuk energi listrik dan transportasi, tetapi segala macam, termasuk industri kimia.

Dengan pertumbuhan permintaan yang masih positif, kebutuhan mencari cadangan atau eksplorasi migas pun meningkat. Untuk itu diperlukan pengeboran yang sekarang ini tentunya lebih ekspansif karena permintaan yang luar biasa, meningkat satu level didorong permintaan dari India dan China dalam dua atau tiga tahun terakhir.

Dengan harga minyak yang naik di atas US$50 per barel, semua membangun rig dan yang dibangun adalah jack-up [rig berkaki untuk pengeboran lepas pantai] dan floaters [rig terapung yang bisa langsung mengebor di laut dalam]. Memang dikhawatirkan terjadi kelebihan pasok rig, tetapi kebutuhan akan anjungan pengeboran itu semakin mendesak.

Apakah potensi bisnis rig lepas pantai semenarik rig darat?

Pencarian minyak di darat mengalami keterbatasan, sementara di laut banyak yang belum dijamah. Areanya masih luas, nah itu masih bisa digarap. Contohnya di Kepulauan Natuna atau di Laut Utara, Norwegia [wilayah eksplorasi minyak] berada di laut yang sangat dalam.

Kalau dulu eksplorasi di laut dalam sulit dilakukan karena biaya operasionalnya besar sekitar US$2 per barel, bahkan sampai US$12 per barel di North Sea dengan harga minyak US$18-US$20 per barel. Dengan harga minyak di atas US$50 per barel, kini hal itu menjadi feasible.

Jadi perusahaan minyak terus mencari cadangan. Di samping itu, mereka yang sudah berproduksi mempertahankan supaya produksinya tidak turun. Sumur itu tetap harus digali dan dirawat. Itu kan perlu rig. Rig yang kami punya bisa untuk eksplorasi dan eksploitasi, jadi kemungkinan mendapatkan kontrak ada. Nah Apexindo fokus untuk eksploitasi.

Meski harga minyak belakangan ini turun, kami tidak perlu khawatir karena kebutuhan rig akan tetap ada.

Makanya Apexindo tidak punya luxury seperti yang lain, jual mahal, tarif sewa rig kami US$165.000 per hari. Padahal di pasar mencapai US$220.000 per hari. Tetapi apalah artinya US$220.000 kalau bersifat jangka pendek. Apexindo dapat kontrak US$165.000 per hari dalam tiga tahun di lapangan migas Sisi dan Nubi, Kaltim untuk jack-up Soehanah dari Total E&P Indonesie.

Apexindo berencana untuk memiliki jack-up ketiga. Apakah itu karena ada kontrak baru lagi?

Sebelum Pak Pierre [Ducasse, Direktur Apexindo] meninggal, kami sudah mengadakan pertemuan dengan Total di Paris. Mereka tawarkan proyek di Nigeria, tetapi kami tertarik di Iran karena jumlah cadangannya besar sekali dan mereka memberikan dalam lima tahun. Sekarang ini kami sedang mengadakan pertemuan intensif dengan mereka.

Bagaimana dengan pesaing lainnya?

Pesaing ada, tetapi mereka mengetahui siapa Apexindo. Kalau harganya cocok, tidak terlalu mahal pasti kami ambil. Kami bukan big boy yang punya rig banyak. Punya 50 rig, nganggur 5-10 tidak masalah. Kami hanya punya jack-up rig dua [Raniworo dan Soehanah] dan akan membangun yang ketiga. Kalau satu tidak dapat proyek, wah... sudah berapa pendapatan yang hilang.

Pewawancara: Pudji Lestari

Bisnis Indonesia