Tuesday, January 9, 2007

Biaya pengeboran minyak meroket hingga 100%

JAKARTA, Bisnis Indonesia: Biaya pengeboran minyak bumi untuk wilayah lepas pantai melonjak hingga 100% pada awal tahun ini, akibat sulitnya mendapatkan anjungan pengeboran (rig) di dalam negeri.

Sekjen Asosiasi Pemboran Migas Indonesia Tito Kurniadi mengungkapkan ongkos jasa pengeboran minyak bumi untuk kawasan lepas pantai (offshore) kini mencapai US$160.000 per hari.

"Hal ini berarti mengalami kenaikan hingga 100%. Mengingat ongkos [pengeboran offshore] sebelumnya hanya berkisar US$70.000-US$90.000 per hari," ujarnya, kemarin.

Penyebab utama dari melonjaknya ongkos jasa pengeboran tadi, menurut dia, karena terjadi kelangkaan rig yang diikuti dengan kenaikan tarif sewa.

"Terus terang tingginya harga minyak mentah di pasar internasional membuat kontraktor migas gencar melakukan drilling. Tapi kegiatan mereka tidak dibarengi dengan ketersediaan rig di dalam negeri. Akibatnya, perusahaan penyedia peralatan tadi mematok harga sewa yang tinggi," papar Tito.

Sementara itu, Presdir Medco Energi Internasional Tbk Hilmi Panigoro membenarkan terjadinya kenaikan tarif sewa rig. Bahkan kenaikannya mencapai 100%.

Kenaikan tarif sewa rig tadi membawa konsekuensi pada melonjaknya ongkos jasa pengeboran minyak.

"Masih tingginya harga minyak mentah, membuat usaha jasa pengeboran minyak akan mendapatkan hasil yang menggembirakan tahun ini."

Tapi, menurut Sekjen APMI, tidak semua perusahaan jasa pengeboran minyak menuai pendapatan tinggi dari kenaikan harga minyak mentah yang terjadi sejak 2 tahun lalu.

Pendapatan yang didapat dari perusahaan jasa pengeboran minyak wilayah daratan (onshore), katanya, tidak sepesat perusahaan yang beroperasi di lepas pantai.

Hal itu dimungkinkan, kata Tito, karena produksi minyak yang akan dicapai pada wilayah lepas pantai dan laut dalam jauh lebih besar dibandingkan wilayah daratan.

Masih ada distorsi

Meskipun bisnis pengeboran sedang naik daun, tapi Tito melihat masih ada distorsi dalam praktiknya di lapangan. Indikasinya antara lain terjadi ketidakwajaran dalam perhitungan harga kontrak rig.

"Praktik ini terjadi karena pengusaha [rig] tidak konsisten dalam menentukan rate. Mereka hanya mengejar bagaimana caranya mendapatkan proyek."

Di sisi lain, kata Tito, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) selaku pemilik atau pengelola proyek migas cenderung memilih perusahaan penawar terendah dalam tender jasa pengeboran.

"Akibatnya [untuk mendapatkan proyek] terjadi saling banting harga antarsemasa pengusaha jasa pengeboran. Situasi ini tanpa disadari merusak iklim bisnis migas."

Buat KKKS dan perusahaan rig asing, lanjutnya, situasi tadi mungkin tidak menjadi persoalan karena target dari kehadiran mereka di Indonesia adalah mengejar keuntungan.

Tapi buat pengusaha pengeboran nasional akan menjadi masalah besar karena daya saing menjadi lemah, sehingga kelangsungan usaha terpuruk.

"Akhirnya, Indonesia tidak bisa melahirkan pengusaha jasa pengeboran minyak yang tangguh." (ismail.fahmi@bisnis.co.id)

Oleh Ismail Fahmi

Bisnis Indonesia