JAKARTA, Bisnis Indonesia: Harga minyak dan komoditas metal yang melonjak pada semester I/2007 membantu sejumlah emiten pertambangan membukukan kinerja yang kinclong.
Sekarang ini tercatat ada 13 emiten pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Beberapa nama sudah lama bertengger dalam daftar itu, tiga merupakan pendatang baru (lihat tabel).
Satu baru saja masuk bursa pada Juli yakni PT Perdana Karya Perkasa Tbk, sedangkan dua lagi yakni PT ATPK Resources Tbk dan PT Cita Mineral Investindo Tbk berpindah bidang usaha ke pertambangan dari sebelumnya perusahaan tambak dan mebel.
Sebagian besar emiten tersebut telah memublikasikan laporan keuangan semester pertama. Dua BUMN yakni PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk bersama dengan Perdana Karya dan PT Citatah Industri Tbk adalah empat di antaranya yang belum melaporkan kinerjanya ke publik.
Secara umum, pendapatan emiten dalam kurun waktu Januari-Juni 2007 mengalami peningkatan. Begitu pula dengan perolehan laba. Pengecualian terjadi pada PT Energi Mega Persada Tbk, di mana pada pos penjualan dan laba angkanya merosot. Penjualan anjlok 41,36% dari Rp832,33 miliar menjadi Rp488,05 miliar, sedangkan laba bersih tergerus hampir 70% menjadi Rp52,43 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp171,98 miliar.
Hampir senasib, PT Apexindo Pratama Duta Tbk meski membukukan kenaikan pendapatan 19,2% dari US$68,62 juta menjadi US$81,81 juta, perolehan laba bersih perseroan anjlok dari US$16,25 juta menjadi US$15,01 juta akibat penurunan laba nonkas atas transaksi swap.
Sebaliknya, PT Bumi Resources Tbk malah membukukan kenaikan laba yang luar biasa dari US$90,43 juta menjadi US$721,89 juta, atau melonjak hampir delapan kali lipat. Padahal penjualan batu bara perusahaan tambang itu hanya naik 33%.
Perusahaan sejenis yakni PT Pertambangan Batubara Bukit Asam Tbk, yang memang lebih banyak menjual produknya ke dalam negeri, hanya membukukan kenaikan laba sekitar 95%. Pada semester satu, BUMN ini mencatatkan laba sebesar Rp302,22 miliar dari sebelumnya Rp155,16 miliar.
Sedang tinggi
PT International Nickel Indonesia Tbk juga membukukan lonjakan laba sebesar 473% dari US$123,28 juta jadi US$707,01 juta. Penjualan perusahaan nikel dengan biaya produksi terendah di dunia ini bahkan tembus US$1,30 miliar.
Head of Research Recapital Securities Satrio Utomo menilai kinerja emiten pertambangan pada semester satu ini lebih banyak didorong oleh harga komoditas seperti nikel, timah, batu bara, dan minyak yang sedang tinggi.
Di sisi lain, kenaikan harga BBM diakuinya membayangi kinerja emiten khususnya yang bukan bergerak di pertambangan migas. "Perusahaan pertambangan itu rakus BBM, komponen dalam biaya produksi tinggi. Karena itu investor hendaknya cenderung memilih perusahaan yang bisa menghemat biaya, karena energinya bukan dari BBM," tuturnya, akhir pekan lalu.
Bagi perusahaan migas, kenaikan harga minyak dunia seharusnya mendongkrak penjualan. Namun, Energi Mega malah melempem, dan Medco hanya naik relatif tipis. Hal positif bagi Medco adalah imbas luapan lumpur di Sidoarjo, Jatim telah terdiskon semenjak perseroan menjual kepemilikannya di blok Brantas PSC. (pudji.lestari@bisnis.co.id)
Oleh Pudji Lestari
Bisnis Indonesia